Putaran Pemilu Presiden ditentukan Rakyat

Blog ini hilang dari peredaran di kata kunci Rusli Zainal Sang Visioner soalnya otak saya belum siap untuk menulis dan membahas tentang sesuatu yang belum begitu saya pahami jadi tidak akan melakukan optimasi terlebih dahulu di kata kunci Rusli Zainal Sang Visioner, mendingan mencoba sok-sok an ... seperti iya padahal tidak alias sok iye membahas Putaran Pemilu Presiden.

Belakangan ini kampanye pemilihan presiden (pilpres) tidak hanya diwarnai dengan perang urat saraf saja, strategi teror politik pun dilancarkan. Salah satu bentuk teror politik itu adalah mengembangkan wacana pilpres satu putaran saja dengan meraih suara 50% plus satu.
Disebut teror politik karena wacana itu dikembangkan tanpa berbasiskan konstitusi. Sebab, menurut konstitusi, pemenang pilpres 2009 tidak semata ditentukan perolehan suara. Tapi, masih ada ketentuan lain, yaitu sebaran suara. Pelaksanaan Pemilu Presiden pada 8 Juli mendatang, tidak ditentukan oleh pengamat politik atau hasil survei, tetapi sepenuhnya berada di tangan rakyat pemilih.

Pasal 6 Ayat (3) UUD 1945 secara gamblang menjelaskan ketentuan pilpres satu putaran, yaitu memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pilpres dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Sekarang total ada 33 provinsi di Indonesia. Dengan demikian, untuk memenangi pilpres dalam satu putaran, pasangan capres dan cawapres harus meraih suara 50% plus satu dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 16 provinsi.

Sekalipun pasangan capres dan cawapres meraih 70% suara seperti yang digembar gemborkan lewat hasil survei pesanan, kalau sebaran suaranya tidak lebih dari setengah jumlah total provinsi se-Indonesia dan mendapat 20% suara, akan ada putaran kedua.

Ambisi memenangi pilpres yang digelar pada 8 Juli mendatang dalam satu putaran patut diwaspadai. Harus diingatkan bahwa ambisi itu sebangun dengan kebiasaan Orde Baru yang telah menetapkan persentase perolehan suara dalam pemilu legislatif jauh hari sebelum pemilu itu digelar. Kemudian segala cara dihalalkan untuk mencapai target tersebut.

Wacana pilpres satu putaran itu sama sekali tidak mencerdaskan rakyat yang berhak memilih. Apalagi disertai alasan yang menjungkirbalikkan akal sehat, yaitu legitimasi dan penghematan anggaran.

Adalah benar bahwa pilpres satu putaran bisa menghemat biaya. Akan tetapi, mengaitkan pilpres dengan biaya adalah pemikiran yang salah. Bukankah demokrasi memakan biaya? Berapa pun biayanya harus dipikul dengan senang hati sepanjang digunakan untuk mewujudkan hak rakyat dengan jujur dan bersih.

Kalau tidak mau keluar biaya, kenapa mesti memilih berdemokrasi? Mengapa tidak memilih sistem otoriter dengan presiden seumur hidup saja? Legitimasi hasil pilpres juga tidak berkaitan dengan jumlah putaran pilpres. Sekalipun pilpres satu putaran, jika prosesnya diwarnai kecurangan, hasilnya tidak memiliki legitimasi yang kuat.

Begitu juga sebaliknya. Sekalipun pilpres dua putaran, jika dilalui dengan jujur dan bersih, hasilnya mendapatkan legitimasi yang tinggi.

Tahapan pilpres yang sudah dilewati masih menyimpan persoalan terutama menyangkut daftar pemilih tetap. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyatakan daftar pemilih tetap bermasalah di 15 provinsi. Akan tetapi, hingga kini Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum memverifikasi daftar pemilih tetap yang bermasalah tersebut.

Potensi kecurangan juga terjadi dalam masa kampanye pilpres. Tim sukses siluman tidak terdaftar di Komisi Pemilihan Umum, padahal tim itu mengelola dana siluman yang jumlahnya juga siluman. Pilpres satu putaran saja juga disuarakan tim sukses siluman tersebut.

Pilpres satu putaran atau dua putaran biarkan rakyat yang menentukan. Itulah hakikat kedaulatan rakyat yang menurut konstitusi berada di tangan rakyat
Bookmark and Share

0 komentar:

Post a Comment