Etika Survei Politik

Dalam kampanye pemilihan presiden, penggunaan lebaga survei sudah menjadi sesuatu yang lumrah dan jelas tak bisa dilarang.Namun yang menjadi persoalan yaitu ketika sejumlah lembaga survei tersebut mengabaikan etika dalam melakukan survei. Mereka dibiayai oleh tim sukses calon presiden tertentu namun mengesankan seolah-olah independen. Di sisi lain metodologi survei yang diterapkan pun patut dipertanyakan.
Mari kita simak beraneka macam hasil survei yang telah dipublikasikan dan beredar di masyarakat. Lembaga Survei Indonesia, misalnya, mengumumkan hasil jajak pendapat yang menunjukkan bahwa tingkat keterpilihan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono mencapai 71 persen. Ini berarti pasangan calon presiden-wakil presiden ini berpotensi menang pemilu dalam satu putaran. Tapi survei lainnya yang dilakukan Lembaga Riset Indonesia menghasilkan angka berbeda. Elektabilitas Yudhoyono-Boediono hanya 33,02 persen, yang berarti pemilihan presiden mungkin akan berlangsung dua putaran.

Survei mana yang harus dipercaya? Hal inilah yang membingungkan masyarakat. Apalagi masih banyak hasil survey lainnya yang dilakukan dengan berbagai macam metode. Ada yang bertatap muka langsung dengan responden, ada pula yang lewat telepon dan pesan pendek. Hasil suatu survei mungkin memenangkan SBY-Boediono, tapi survei yang lain malah mengunggulkan pasangan lainnya, Megawati-Prabowo atau Jusuf Kalla-Wiranto.

Publik sebetulnya tidak akan terlalu pusing andaikata penyelenggara survei bersikap terbuka. Mereka harus membeberkan siapa penyandang dananya. Publik perlu tahu soal ini untuk menakar kemungkinan adanya bias pada hasil survei itu. Akan lebih baik lagi bila hasil survei ini diumumkan oleh pemesannya, bukan oleh lembaga yang melakukan survei itu.

Etika lain yang kerap dilanggar menyangkut metodologi. Dengan jumlah pemilih di atas 100 juta dan terserak di wilayah yang luas, bahkan sebagian berada di tempat terpencil, teknik pengambilan sampel menjadi tantangan utama bagi lembaga survei. Begitu pula metode pengambilan pendapat. Teknik bertanya dan pertanyaan yang diajukan kepada responden harus tepat karena ini bisa mempengaruhi jawaban responden. Sering kali lembaga survei tidak menjelaskan dengan gamblang metode yang dipakainya. Padahal metode yang berbeda jelas akan menampilkan hasil survei yang berbeda pula.

Sungguh berbahaya jika lembaga survei sengaja menyembunyikan metode atau memanipulasi data dengan tujuan mengelabui publik. Sebab, ada kecenderungan masyarakat akan mendukung calon yang berpotensi menang lantaran tak mau jadi pecundang. Pada abad ke-19, Benjamin Disraeli, negarawan dan Perdana Menteri Inggris yang meninggal pada 1881, bahkan telah mengutuk manipulasi statistik ini sebagai kebohongan yang paling jahat. Soalnya, lembaga survei memperalat publik, yakni responden, untuk membohongi publik yang lebih besar.
Bookmark and Share

1 komentar:

    boss..emang ngelewatin proxy kaya link post ini nggak resiko sama dodo google, karena blogku www.free-7.net kemarin abis di hajar ilang dari indeks terus kena review, sebab pastinya nggak tau, tapi emang ada salah satu yg pake link proxy juga :)
    semoga menang

     

Post a Comment