Virus Korupsi Merebak di Aceh

Dengan banyaknya permasalahan korupsi yang mencuat di Aceh, maka tidak ada jalan lain kecuali aparat penegak hukum harus dapat didorong agar lebih bertindak tegas tanpa pandang bulu. Kalau perlu segera berlakukan syariat Islam dengan cara potong tangan bagi pelaku korupsi dan pencuri. Sehingga para pelaku tindak kriminal di Aceh dapat diberantas hingga ke akar-akarnya.
Mencuatnya beberapa kasus korupsi di Aceh beberapa waktu terakhir ini menyebabkan Aceh diserang kasus korupsi yang menjadi-jadi. Korupsi menyebar bagaikan virus yang tak dapat dimatikan. Akibatnya persoalan korupsi yang sengaja sudah telanjur menyebar hingga penanganannya harus dengan obat yang nomor satu. Jika tidak, bisa-bisa aparat penegak hukum justru terseret dalam lingkaran korupsi.

Korupsi di Aceh dianggap oleh berbagai kalangan sebagai tindakan yang dianggap terlalu berani dan terlalu vulgar. Salah satu berita yang masih panas hingga saat ini adalah mencuatnya. Khususnya, kasus korupsi yang terjadi di Aceh telah menimbulkan gejolak yang tak habis-habisnya. Ibaratnya sebuah drama kolosal yang bersambung yang melibatkan banyak aktor dan yang tak pernah habis ujung ceritanya. Selesai satu muncul yang satu dengan melibatkan pejabat di lain tempat atau bahkan menimbulkan persoalan baru yang lebih besar dan menghebohkan.

Bahkan pemberitaan tentang korupsi dan kriminal oleh media lokal Aceh sudah menjadi fenomena tiap hari. Bahkan beberapa waktu yang lalu, kita dikejutkan lagi dengan pemberitaan tentang permintaan Irwandi Yusuf yang mengatakan bahwa'Gubernur Minta Dana Kerjanya Rp. 68 M tak Diaudit BPK'.

Berita tersebut secara spontan telah menimbulkan kritikan pedas dari berbagai penjuru baik itu kalangan politisi, LSM maupun dari birokrat Aceh itu sendiri. Permintaan Irwandi dinilai banyak kalangan sebagai permintaan yang aneh dan merupakan suatu tindakan yang secara langsung telah menentang aparat hukum agar aparat segera turun tangan. Nampaknya gertakan Irwandi sangat manjur di mana aparat penegak hukum tidak ada yang bernyali untuk mengambil inisiatif.

Tidak adanya nyali yang diperlihatkan oleh aparat hukum untuk menindak lanjuti pernyataan sang Gubernur, telah menimbulkan kegerahan datang dari sejumlah elemen lain seperti LSM. LSM yang mengusung masalah penegakan moral menghendaki agar pelaku korupsi di tanah rencong harus diberikan sangsi secara tegas tanpa pandang buluh. Bahkan LSM seperti gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh dan Masyarakat Transparansi (MaTA) merilis dan menambahkan bahwa sebanyak Rp. 224,1 miliar kerugian negara di Aceh belum diungkap para penyidik.

Jumlah kerugian negara tersebut merupakan hasil monitoring dua lembaga dari Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA). Korupsi yang melibatkan pejabat negara di Aceh dengan ada sekitar 24 indikasi korupsi bersumber Anggaran Pendapatan Belanja Negara(APBN), APBA dan Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK). Dengan demikian dapatlah kita tarik suatu benang merah ke belakang bahwa, kasus korupsi yang muncul di Aceh ini disebabkan oleh beberapa hal. Salah satu penyebabnya karena, 'proses hukum pada pelaku korupsi sama sekali tak memberikan efek jera.' Sudah banyak kasus korupsi yang menimbulkan kerugian negara miliaran rupiah yang paling-paling hanya divonis tiga sampai empat tahun penjara. Sementara untuk idealnya di Aceh harus dapat diberikan hukuman tambahan berupa hukuman potong tangan. ( Source : Sabaruddin Daud Jl. Lambaro Km 53 Banda Aceh _ NAD )

SEO Contest Rusli Zainal Sang Visioner
Bookmark and Share

1 komentar:

    Kalau perlu lebih kejam dari hukum qisahs kalo di Indonesia, potong "anu"

     

Post a Comment